Sabtu, 17 Agustus 2013

Manusia Flores Punya Otak Besar


Homo Floresensis

  • Penulis : Yunanto Wiji Utomo - Rabu, 17 April 2013 | 07:17 WIB
KOMPAS.com — Manusia Flores (Homo floresiensis) yang hidup di Flores, Indonesia, hingga masa 12.000 tahun lalu punya otak yang lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal tersebut terungkap dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B.

Yousuke Kaifu dari National Museum of Nature di Tokyo bersama timnya, Daisuke Kubo dan Reiko Kono, meneliti otak Manusia Flores dengan metode micro CT Scan. Mereka menemukan, volume otak manusia tersebut 426 cc, sementara volume yang diperkirakan sebelumnya 400 cc.

Hasil penelitian ini, menurut para peneliti, menguatkan dugaan bahwa H floresiensis berevolusi dari spesies H erectus. Peneliti percaya, H erectus, disengaja ataupun tidak, bermigrasi ke tempat yang terisolasi semacam Flores.

Hidup di tempat terisolasi membuat H erectus mengalami evolusi. Di Flores, berkembanglah H floresiensis. Manusia Flores memiliki tinggi hanya sekitar 115 cm. Manusia ini juga memiliki kaki pendek relatif pada tangan dan tubuhnya.

Pengerdilan memang bisa terjadi ketika spesies berukuran lebih besar hidup di daerah terisolasi. Contohnya, gajah ukurannya cenderung mengecil. Pengerdilan diduga terjadi sebab minimnya predator dan untuk efisiensi energi.

Sebaliknya, spesies berukuran kecil ketika berada di tempat yang terisolasi cenderung membesar. Hal ini, di Flores, bisa dilihat pada ukuran kadal yang cenderung besar. Ukuran membesar umumnya terjadi karena makanan melimpah.
Bermain Piano tanpa Guru

Sejauh ini, diketahui bahwa distribusi H erectus meluas dari Afrika hingga Eropa dan Asia. Diduga spesies tersebut tak bisa beradaptasi dengan iklim dingin di utara Bumi. Namun, paling tidak H erectus sampai di beberapa pulau terpencil.

"Jadi, ada peluang bahwa mereka juga terdapat di beberapa pulau di sekitar Flores, seperti Sulawesi dan mungkin saja Filipina," ungkap Kaifu seperti dikutip oleh Discovery, Selasa (17/4/2013).

Menanggapi hasil penelitian ini, Dean Falk, peneliti yang sebelumnya mengukur volume otak Manusia Flores, mengungkapkan bahwa hasil penelitian terbaru ini adalah yang paling akurat karena dilakukan dengan metode yang paling maju.

William Jungers dari Departemen Anatomi, Stony Brooks University, mengatakan bahwa ukuran seperti yang ditemukan lewat penelitian adalah "ukuran normal manusia kerdil dan telah punah yang hidup jutaan tahun di Flores."

Meski demikian, Jungers mengatakan, "Populasi mula manusia ini mungkin tersebar di Asia Tenggara seperti yang dikatakan Dr Kaifu, tapi masih ada kemungkinan H floresiensis berevolusi dari spesies yang lebih primitif dengan tubuh dan otak lebih kecil."
 Sumber : DISCOVERY - Editor : yunan

Jumat, 11 Januari 2013

The Hobbit (Homo floresiensis)



Sumber: Kompas.com

Mereka Masih ada di Flores! (Foto Kompas.com)
Temuan Homo floresiensis di Liang Bua menunjukkan peradaban Pulau Flores sudah sangat tua. Fosil itu diperkirakan setara dengan Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo.
Kedua fosil termasuk manusia purba yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan manusia modern (Homo sapiens). Fosil Homo floresiensis yang dijuluki hobbit (manusia kerdil) telah mengguncang dunia arkeologi dan menjadi perdebatan sampai kini.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti sejak tahun 1970-an. Sempat terhenti karena kesulitan dana, penelitian dimulai lagi tahun 2001 bekerja sama dengan peneliti dari Australia. Tahun 2003, mereka menemukan kerangka manusia kerdil yang menghebohkan itu, yaitu kerangka perempuan setinggi 100 sentimeter (cm) yang diperkirakan terpendam lebih dari 10.000 tahun lalu. Hingga kini tim masih menggali Liang Bua. Lubang menganga dengan mudah ditemui di lantai gua.

Penjaga Liang Bua, Cornelis, menawarkan jasa bertemu manusia kerdil dari Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu, Kecamatan Waeriri. Kehadiran lelaki kerdil Victor Dau (80) di Liang Bua menghidupkan gambaran tentang manusia kerdil Homofloresiensis. Dengan tinggi 135 cm, Victor yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini mengaku sebagai keturunan dari manusia kerdil yang fosilnya ditemukan terkubur di Liang Bua.

Keberadaan manusia kerdil berukuran kurang dari 150 cm di Dusun Rampasasa memperuncing perdebatan di kalangan ilmuwan. Peneliti Puslit Arkenas meyakini Homofloresiensis adalah spesies purba yang telah punah dan tidak memiliki kaitan dengan manusia kerdil dari dusun itu.

Sebaliknya, tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipimpin almarhum Prof Dr Teuku Jacob dan Kepala Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM Etty Indriati yang meneliti warga Rampasasa berpendapat, ada hubungan erat antara Homo floresiensis dan manusia kerdil Rampasasa. Menurut mereka, temuan kerangka di Liang Bua adalah manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya kerdil. Mereka menduga, manusia Flores itu adalah salah satu subspesies Homo sapiens ras Austrolomelanesid.

Sebelum tim Puslit Arkenas, seorang pastor yang mendirikan sekolah di Liang Bua, Pastor Verhoeven, menggali dan menemukan beragam bekal kubur serta kerangka manusia modern pada tahun 1965.

Kendati Liang Bua telah tersohor ke seluruh dunia, warga masih dibekap kemiskinan.

Namun, warga Rampasasa sangat ramah. Tamu akan disambut dengan tetabuhan gendang, secangkir kopi, dan sebotol bir. Anak-anak dengan pandangan ingin tahu segera mengerumuni tamu yang berkunjung ke dusun yang belum tersentuh jaringan listrik maupun air bersih itu.


Ada 70 dari 250 warga dusun itu yang memiliki tinggi kurang dari 150 cm. Menurut Victor, warga mendengar kisah nenek moyang manusia kerdil yang tinggal di gua secara turun-temurun.
Karena desakan kebutuhan ekonomi, warga Rampasasa mulai meninggalkan kepercayaan lama. Larangan mengukur tubuh, misalnya, dilanggar demi mendapat uang. Warga juga bersedia diambil darah untuk uji DNA dengan imbalan Rp 150.000 per orang.



Ketua Tim Penelitian Liang Bua dari Puslit Arkenas, Wahyu Saptomo, tetap yakin bahwa Homo floresiensis adalah spesies berbeda dalam garis evolusi manusia. Manusia kerdil ini memiliki pergelangan kaki dan tangan dengan ciri di antara manusia kera dan manusia modern.

Ciri lain, tulang kening sangat menonjol, tidak memiliki dagu, dan volume otak hanya 430 cc. Ini berbeda dengan manusia modern yang volume otaknya 1.400 cc. Homo floresiensis diperkirakan hidup di zaman pleistosen (2 juta-12.000 SM).

Menurut ahli alat batu dari Arkenas, Jatmiko, Liang Bua memiliki empat lapisan kebudayaan prasejarah dari masa paleolitik (batu tua), mesolitik, neolitik, dan paleometalik (logam awal), berupa alat batu seperti kapak perimbas mulai dari yang buatannya masih kasar sampai halus, serta mata anak panah dari logam.

Saat ini, tim Arkenas meneliti temuan lain berupa peninggalan artefak batu berusia sekitar 1 juta tahun di Cekungan Sowa, Flores tengah. Seluruh temuan arkeologi di Pulau Flores menunjukkan hadirnya peradaban yang sangat tua. Peradaban tua itu setara dengan dunia lama di Pulau Jawa. Saat ini, pewaris peradaban itu harus dibangkitkan dari keterpurukan akibat kemiskinan. 
(Mawar Kusuma Wulan dan Benny D Koestanto)